Pengunjung

ads

Sejarah Perkembangan dan Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh



A.  Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a.    Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.[1]
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh.[2] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah saw. membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
b.      Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah saw. sendiri.[3]
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.[4]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[5] Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru'.”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci.[6] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[7]
c.       Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.[8]
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1)   Pemalsuan hadits
2)   Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.[9]
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya; ulama fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Madinah.[10] Pada perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan madrasah al- hadits. 
d.      Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbath-nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.[11]
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah saw., yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Irak juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Irak mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah saw., tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.

2.   Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi dari isi kitabnya itu. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam Syafi’i dan terkadang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama Ushul fiqh dari kalangan Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya yaitu istihsan dan ‘urf dalam mengistinbathkan hukum. Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul Madinah (kesepakatan penduduk madinah).[12] 
B.   Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.      Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Dalam aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’, faktornya karena[13]:
a.       Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas dari pengaruh furu’.
b.      Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
c.       Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut, yakni;[14]
a.       Analisis kasus-kasus
b.      Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
c.       Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
d.      Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
a.       Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
b.      Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
c.       Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
d.      Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang dengan judul;
1)        Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
2)        Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H).[15]
2.      Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.[16]
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul (Imam Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi), Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3.      Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jami’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.


KESIMPULAN

            Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat dibagi secara umum menjadi dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i.
            Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa yang dialami oleh dua sahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka hendak mengerjakan shalat akan tetapi tidak ada air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti pada masa Imam Malik dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan alirannya (hanafiyyah). Imam maliki mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas, seperti mempertahankan praktih penduduk madinah sebagai sumber hukum. Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni; berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.

Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.





















 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudlary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
Alwani, Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia: IIIT, 1994.
Anhari, Masykur,  Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan,  Abd. Rahman,  Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A. Syafi’i,  Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’ruf Al-Dawalibi, Muhammad,  Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II, 1959.
Ma’shum Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994.






[1] A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46.
[2] Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123.


[3] Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994), 19.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
[5] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
[6] Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar, 72.
[7] Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), 114.
[8] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 17-18.
[9] Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, 23.
[10] Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II, 1959), hal. 93.
[11] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 18.
[12] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), hal. 10
[13] Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 39.
[14] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011),  8.
[15] Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), hal. 10
[16] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 25.
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih , Cet IV (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 187.

Pemalsuan Menurut Undang-Undang Negara Dan Menurut Islam



A.  PEMALSUAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Pemalsuan menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) disebutkan dalam BAB XII tentang pemalsuan surat yang terdapat dalam pasal 263 ayat 1 dan 2, yang berbunyi;
1)   Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2)   Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.[1]
Dari KUHP dan KUHAP diatas dapat disimpulkan bahwa pemalsuan merupakan suatu bentuk pelanggaran pidana, yang mana pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan bunyi ayat diatas. Dari itulah, dapat dikatakan bahwa hukum pemalsuan identitas adalah dilarang atau tidak diperkenankan. Akan tetapi, jika masih ada anggota masyarakat yang melakukan hal itu, secara otomatis akan mendapatkan hukuman karena perbuatannya telah melanggar hukum negara yang harus diberikan hukuman atau sanksi.
B.  PEMALSUAN MENURUT HUKUM ISLAM
Pemalsuan merupakan salah satu perbuatan tercela yang dilarang oleh Agama. Pemalsuan adalah salah satu bentuk pendustaan (bohong) yang dapat merugikan banyak hal. Oleh karena itu, perbuatan pemalsuan merupakan perbuatan tercela (akhlak madzmumah) yang apabila seseorang melakukan hal itu, maka sama dengan telah melanggar aturan Allah SWT. Dilarangnya perbuatan dusta telah tercantum dalam Al-Qur’an, Hadits Rasulullah SAW, dan sekaligus dalam kaidah Fiqh;
1.    Firman Allah SWT; antara lain;
a.   QS. An-Nisa’ ayat 40
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا (50)
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan Dusta terhadap Allah? dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).[2]
Ayat tersebut memberikan penjelasan akan tercelanya perbuatan dusta atau pemalsuan yang masuk dalam hal itu. Oleh karena itu, dalam salah satu hadits nabi disebutkan bahwa pelaku dusta akan dimasukkan ke dalam neraka.
b.  QS. Al-maidah ayat 41
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آَخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (41)
Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan Amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.[3]
Dari ayat diatas bisa disimpulkan pokok bahasan dalam ayat diatas sebagai berikut;
1.    Allah menyuruh nabi Muhammad agar jangan cemas dan terpengaruh oleh perbuatan kaumnya yang dengan mudah menjad kafir.
2.    Orang munafik dan orang yahudi senang sekali mendengar pembicaraan dan propaganda bohong menganai pribadi dan kerasulan Muhammad SAW. Mengubah isi kitab Taurat dan hanya mau menerima suatu hukum kalau sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka. Kalau tidak, maka hukum itu mereka tolak.
3.    Hati mereka tidak akan dibersihkan. Mereka hina di dunia dan akhirat kelak akan mendapatkan siksaan yang amat berat.[4]
c.   QS. Al-An’am 93
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ (93)
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.[5]
Allah menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa tidak ada orang yang lebih dzalim dari orang-orang yahudi yang mengingkari kebenaran Al-Qur’an. Perkataan mereka telah mengingkari ajaran agama tauhid. Begitu juga seperti mereka yang mengaku telah menerima wahyu dari Allah SWT, seperti musailamah Al-Kadzab, al-Aswad al-‘Ansi, Tulaihah al-asadi.
Allah menyebutkan ancaman dan siksaan yang diterima oleh orang dzalim itu, dikala mereka menghembuskan nafas yang terakhir, sebagai imbalan kejahatan dan dosa yang mereka lakukan.  Sungguh dahsyat siksaan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dzalim itu pada waktu mereka menghadapi sakaratul maut yang tidak dapat terlukiskan. Dan pada waktu itu, malaikat akan mengulurkan tangannya untuk merenggut nyawa mereka yang berlumur dosa dengan renggutan yang keras.[6]
d.  QS. Al-A’raf 37
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآَيَاتِهِ أُولَئِكَ يَنَالُهُمْ نَصِيبُهُمْ مِنَ الْكِتَابِ حَتَّى إِذَا جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قَالُوا أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ (37)
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam kitab (Lauh Mahfuzh); hingga bila datang kepada mereka utusan-utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya: "Di mana (berhala-berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah?" orang-orang musyrik itu menjawab: "Berhala-berhala itu semuanya telah lenyap dari kami," dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.[7]
Ayat ini menjelaskan bahwa berdusta kepada Allah dan ayat-ayatnya adalah pekerjaan yang paling dzalim. Mengada-ngadakan dusta dan kebohongan terhadap Allah ialah mewajibkan yang tidak diwajibkan Allah, memutarbalikkan hokum-hukum, yang halal dikatakan haram dan sebaliknya atau berani mengatakan bahwa Allah beranak dan bersekutu. Mendustakan ayat-ayat Allah berarti menolak, mempermainkan dan mengejeknya. Perbuatan mereka dianggap sebagai perbuatan yang paling dzalim, mereka akan menikmati kesenangan dunia yang bersifat sementara, namun di akhirat kelak mereka akan di adzab dengan siksa yang sangat pedih.[8]
e.   QS. Al-Ankabut 68
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (68)
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?[9]
Pada ayat diatas tercermin sekian banyak penekanan tentang keburukan kaum musyrikin. Pertama, kata افْتَرَى / mengada-ada, yakni berbohong, kedua, bahwa kebohongan itu bukan terhadap makhluk, tetapi kepada Allah sang pencipta, dan bukan kebohongan kecil tetapi كَذِبًا, kebohongan yang besar. Kebohongan tersebut terjadi spontan tanpa di pikirkan, sebagaimana dipahami dari kata لَمَّا. Akhirnya, ia mendustakan sesuatu yang telah bermurah hati جَاءَهُ datang kepadanya.[10]
f.    QS. An nahl 105
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ (105)
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.[11]
g.    QS. At-Taubah 77
فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (77)
Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.[12]
Orang yang telah berikrar kepada Allah kemudian mengingkari janjinya itu, dan orang yang berdusta kepada Allah sehingga tidak menepati janjinya, maka hatinya tidak akan selamat dari kemunafikan.
Maka sudah sepantasnya pengingkaran janji dan kebohongan terhadap Allah ini mengakibatkan timbulnya nifaq yang kekal di dalam hati orang-orang yang disyaratkan dalam ayat diatas.[13]
Ayat Al-Qur’an diatas memberikan penjelasan akan tercelanya perbuatan dusta (bohong). Dan Allah juga mengancam bagi orang yang berdusta dengan berbagai macam kehinaan di dunia dan siksa di akhirat kelak. Selain ayat tersebut, Rasulullah SAW juga menjelaskan tentang buruknya sifat bohong atau dusta, diantaranya;
2.    Hadits Rasulullah SAW
a.    Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Barang siapa yang dusta padaku (atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah menyiapkan tempatnya di dalam neraka, (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i).
b.    Hadits Riwayat Bukhari, Muslim
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَالْفُجُورُ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا.
Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke surga, dan selalu seorang itu berkata benar, dan menjaga supaya tetap benar, sehingga dicatat disisi Allah sebagai seorang siddiq (yang amat benar). Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta menuntun kepada lancung (curang) dan kecurangan itu menuntun kedalam neraka, dan selalu seorang hamba berlaku curang (curang) sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta. (HR. Bukhari, Muslim).
c.    Hadits Riwayat Bukhari, Muslim
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا حَدَّثَ كَذَّبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Empat macam sifat, siapa yang ada padanya keempat sifat itu, maka ia munafiq yang betul-betul, dan siapa yang ada padanya satu dari sifat padanya, maka ia mempunyai sifat nifaq, sehingga meninggalkannya. Jika berkata-kata dusta, dan jika berjanji menyalahi janji, dan jika akad perjanjian cidera, dan bila berdebat (bertengkar) curang (lancung). (HR. Bukhari, Muslim).[14]
d.  Hadits Riwayat Bukhari
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ ، كُلِّفَ أنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْن (شَعْرَتَيْنِ) وَلَنْ يَفْعَلَ ، وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَديثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ ، صُبَّ في أُذُنَيْهِ الآنُكُ يَوْمَ القِيَامَةِ. رواه البخاري .
Siapa yang mengaku bermimpi padahal tidak mimpi, maka kelak disuruh menyambung dua biji sya’ir (jagung) dan tidak akan dapat. Dan siapa yang mendengarkan pembicaraan orang-orang, padahal mereka tidak suka ia mendengar, maka kelak akan dituangkan di dalam telinganya cairan timah pada hari qiyamat. (HR. Bukhari).
e.    Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
آيَاتُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَّبَ وإذا ائْتُمِنَ خَانَ وإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda-tanda orang munafik ada tiga : Apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanat, ia berkhianat. (HR. Bukhari dan Muslim).
f.    Hadits Riwayat Ahmad dan Abusy Syaikh
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ مُجَانِبٌ لِلإِيمَانِ
Awaslah kamu dari dusta, karena dusta itu menyalahi iman.
g.   Hadits Riwayat At Turmudzi dan Abu Na’im
إذا كَذَبَ العبدُ كِذْبَةً تَبَاعَدَ عَنْهُ الْمَلَكُ مِيْلاً مِنْ نَتْنِ مَا جَاءَ بِهِ.
Jika seorang hamba itu berdusta, maka malaikat itu menjauh dari padanya sejauh satu mil, karena sangat busuk bau perbuatannya itu.
h.  Hadits Riwayat Al-Hakim
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ. وَكَفَى بِالْمَرْءِ شُحًّا أَنْ يَقُوْلَ آخُذُ حَقِّى لَا أَتْرُكُ مِنْهُ شَيْئًا
Cukup bagi seorang pendusta, bila ia menceritakan semua yang didengar, dan cukup bagi seorang bakhil (kikir) jika ia berkata: aku akan ambil semua hakku dan tidak akan aku tinggalkan sedikitpun.
i.     Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيَضْحَكَ بِهِ الْقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Ancaman berat bagi orang yang bercerita lalu berdusta untuk menertawakan orang-orang, maka ancaman berat baginya, dan ancaman berat baginya.
j.     Hadits Riwayat Ahmad
خَمْسٌ لَيْسَ لَهُنَّ كَفَّارَةٌ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَبَهْتُ الْمُؤْمِنِ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَيَمِيْنٌ صَابِرَةٌ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالًا بِغَيْرِ حَقًّ
Lima macam dosa yang tidak ada tebusannya:
1.        Syirik terhadap Allah
2.        Membunuh orang tanpa hak
3.        Membuat tuduhan palsu terhadap seorang mu’min
4.        Lari dari barisan kaum muslimin dalam perang.
5.        Sumpah palsu untuk mengambil hak orang lain.
k.  Hadits Riwayat Ahmad dan Ibn Abi Ad-Dunya
مَنْ قَالَ لِصَبِىٍّ تَعَالَ هَاكَ، ثُمَّ لَمْ يُعْطِهِ فَهِىَ كِذْبَةٌ.
Barang siapa yang memanggil anak kecil sambil berkata: mari saya beri apa-apa, kemudian tidak memberinya, maka itu dianggap dusta.[15]
3.    Kaidah Fiqh
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Kaidah kedua, الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga, النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
C.  PERKARA YANG DIBOLEHKAN BERBOHONG
Pada dasarnya dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang, namun jika tiada jalan keluar lagi untuk mencapai tujuan yang baik, maka berdusta itu diperbolehkan. Misalnya seperti menyembunyikan seorang kawan muslim yang tengah diancam bunuh oleh penjahat, orang dzalim, atau orang kafir. Maka demi keselamatan jiwanya, orang boleh berdusta bahkan dalam contoh ini orang wajib berdusta.
Dari Ummu Kultsum RA, Rasulullah SAW bersabda;
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِى خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
Artinya: “Tidak dihukumi dusta lagi, orang yang berbohong demi terciptanya perdamaian diantara masyarakat yang tengah bermusuhan atau berselisih, sehingga mereka menjadi baik atau berkata baik. (HR. Bukhari Muslim)
Ditambahkan dalam riwayat lainnya; Ummu kultsum berkata: “belum Pernah ku dengar adanya keringanan tentang dusta sedikitpun, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
1.    Ketika berkecamuknya perang
2.    Dalam mewujudkan perdamaian diantara masyarakat atau bangsa yang tengah dilanda permusuhan atau perselisihan.
3.    Omongan suami terhadap istrinya atau sebaliknya, demi terciptanya kerukunan dalam rumah tangga. (HR. Muslim).[16]



KESIMPULAN
            Jujur merupakan suatu kunci sukses menuju kehidupan yang baik. Akan tetapi kebalikannya, bila hidup ini dihiasi dengan dusta yang dilakukan oleh individu masyarakat, maka bukan tidak mungkin system kehidupan akan menjadi buruk dan tidak bisa mencapai kehidupan yang lebih baik.
            Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an yang harusnya dibuat pedoman bagi setiap manusia untuk menjalankan kehidupan agar senantiasa mendapatkan Hidayah dan diberkahi dalam setiap langkah perbuatan. Didalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan larangan dusta dan pedihnya siksa bagi orang yang berdusta. Firman Allah dalam Al-Qur’an mengenai perbuatan dusta dapat disimpulkan mengenai isi kandungannya sebagai berikut;
1.      Dusta merupakan perbuatan tercela dan dosa yang nyata (QS. An-Nisa’: 40)
2.      Hati orang yang berdusta tidak akan dibersihkan, mereka hina di dunia dan akan mendapat siksa yang sangat pedih di akhirat (QS. Al-Maidah: 41)
3.      Siksa Allah akan diberikan kepada pendusta disaat sakaratul maut dengan siksaan pedih yang tidak dapat dilukiskan (QS. Al-An’am: 93)
4.      Dusta merupakan pekerjaan yang paling dzalim (QS. Al-A’raf: 37) dan pendusta merupakan orang yang paling dzalim (QS. Al-Ankabut: 60)
5.      Dusta merupakan tanda dari sifat munafiq (QS. At-Taubah: 77)
Sabda Rasulullah SAW juga banyak menjelaskan tentang sifat dusta, diantaranya;
1.      Dusta akan membawa orang ke neraka.
2.      Dusta merupakan tanda sifat munafiq.
3.      Pendusta di hari Qiyamat telinganya akan dituangi timah.
4.      Pendusta akan dijauhi oleh Malaikat.
Jadi pada intinya, sifat dusta yang dalam makalah ini membahas tentang pemalsuan identitas pada dasarnya tidak diperbolehkan. Karena pemalsuan tersebut merupakan bentuk suatu sifat buruk yang akan berdampak buruk pula. Namun, dusta atau bohong diperbolehkan bila dipergunakan untuk menyelamatkan saudara sesama muslim yang jiwanya terancam oleh penjahat, orang dzalim dan orang kafir, maka dhukumnya boleh berbohong seperti dalam riwayat Ummu Kultsum. 




DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Bandung: Citra Umbara, 2012.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Amani, 2005.
Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 2, Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 3, Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al mishbah volume 10, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Quthb, Sayyid, Tafsir fi zhilalil qur’an jilid 5, jakarta Gema Insani Pers, 2003.
Bahreisy, Salim, Terjemah Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad, Surabaya: Darussaggar, tt.
Al-Hafidh dan Suhaemi, Masrap, Tarjamah Riyadhus Shalihin, Surabaya: Mahkota, 1986.



[1] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Bandung: Citra Umbara, 2012), hal. 83.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 110.
[3] Ibid, hal. 151-152.
[4] Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 2, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 402-403.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 187-188.
[6] Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 3, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 182-183.
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 208.
[8] Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 3, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 334-335.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 569.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah volume 10, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 140.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 380.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 267.
[13] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil qur’an jilid 5  (jakarta Gema Insani Pers, 2003), hal 382.
[14] Salim Bahreisy, Terjemah Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad, (Surabaya: Darussaggar, tt), hal. 487-488.
[15] Salim Bahreisy, Terjemah Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad, (Surabaya: Darussaggar, tt), hal. 488-491.

[16] Al-Hafidh dan Masrap Suhaemi, Tarjamah riyadhus Shalihin (Surabaya: Mahkota, 1986), hal. 744-745.

Copyright © Anugerah Ilmu

Sponsored By: Free For Download Template By: Fast Loading Seo Friendly Blogger Template