A.
Definisi
Penyembelihan
Kata sembelihan berasal dari kata
dzabaih. Kata ad dzabaih bentuk jamak dari kata dzabihah, artinya madzbuhah
(yang disembelih). Adapun kata dzakah, pada mulanya kata itu dipakai makna
memakai wangi-wangian. Dan yang dimaksud dengan kata dzakah disini ialah menyembelih. Dzakah secara
syara’ ialah menyembelih dengan cara dzabh atau nahr hewan yang
boleh dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri atau membunuh hewan yang sukar
disembelih lehernya yang disahkan oleh syara’.[1]
Dasar disyari’atkannya penyembelihan
adalah Firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 3;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ…...
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya.[2]
B.
Syarat-Syarat
Sah Penyembelihan
Syarat-syarat yang pokok dalam
penyembelihan adalah orang yang menyembelih, alat penyembelih, tempat yang
disembelih (bagian tubuh yang dipotong) dan perbuatan orang yang menyembelih.
Jumhur juga menggabungkan menyebut nama Allah dalam syarat-syarat ini. Namun
kalangan syafi’iyyah menganggap menyebut nama Allah adalah sunnah.
Syarat-syarat sah penyembelihan dapat diuraikan sebagai berikut;
1.
Orang
yang menyembelih
Orang yang menyembelih hewan itu ada dua syarat; yakni akal dan
agama.[3]
a.
Akal,
mengenai akal maka menyembelih itu harus dinyatakan tujuannya. Suatu tujuan
yang timbul dari orang yang gila atau orang yang mabuk yang tidak berakal, dan
juga anak kecil yang belum tamyiz, maka hal itu tidak disahkan. Namun pendapat
madzhab syafi’I dan sebagian pendapat Hanafi, mereka tidak mensyaratkan orang
yang menyembelih harus berakal. Sedangkan menurut pendapat yang rajih adalah
menyaratkan orang yang menyembelih harus berakal sebab penyembelihan itu
merupakan suatu ibadah kepada Allah, serta membutuhkan niat.
b.
Agama;
orang yang menyembelih adalah orang yang Beragama samawi (langit atau
berdasarkan wahyu), baik orang Muslim maupun ahlul kitab (Nasrani atau Yahudi).
Sembelihan orang kafir yang tidak beragama Nasrani atau Yahudi adalah Haram.
Sembelihan Ahlul kitab itu halal, akan tetapi yang lebih utama adalah orang
Muslim. Dalil yang menunjukkan kehalalan sembelihan Ahlul kitab adalah firman
Allah dalam Surat Al-Maidah: 5;
الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.[4]
2.
Perbuatan
Orang yang menyembelih
Para ulama fiqh sepakat bahwa penyembelihan yang memutuskan
tenggorokan, mari’, dan dua urat leher menjadikan hewan yang disembelih boleh
dimakan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah urat yang harus
putus.
Menurut pendapat Hanafiyyah yang wajib adalah putus tiga bagian
saja tanpa ditentukan oleh empat bagian. Bila putus tenggorokan, mari’ dan
salah satu urat leher, maka itu dianggap cukup. Menurut malikiyyah, harus putus
dua urat leher dan tenggorokan, serta tidak boleh kurang dari itu. Pendapat
madzhab syafi’iiyah dan hanabilah dalam riwayatnya menyatakan bahwa tenggorokan
dan mari’ wajib putus dan disunnahkan putus juga dua urat leher.[5]
Yang
dimaksud keempat bagian tubuh yang disembelih diatas adalah;
a.
Hulqum (tenggorokan), yaitu saluran napas
b.
Mari’, yaitu saluran makanan dan minuman yang berada dibawah
tenggorokan.
c.
Wadajain (dua urat leher), yaitu dua urat yang berada pada dua
sisi leher yang mengelilingi tenggorokan. Dan menurut dalil salah satu
pendapat, yaitu yang mengelilingi mari’.[6]
Binatang yang dapat disembelih, maka
sembelihannya adalah pada kerongkongan dan pangkal leher, dan binatang yang
tidak memungkinkan untuk disembelih, maka penyembelihannya adalah dengan cara
melukai pada bagian tubuhnya sebelah mana saja mungkin.
Penyembelihan yang sempurna adalah
terputusnya empat perkara, yaitu; kerongkongan, saluran makanan dan minuman,
urat sebelah kanan dan kiri leher. Sedangkan penyembelihan yang sudah dianggap
cukup dan sah adalah memotong dua hal, yaitu kerongkongan dan saluran makanan
dan minuman.[7]
Dalil menyembelih binatang yang
dapat disembelih harus pada kerongkongan dan pangkal leher adalah hadits Nabi
SAW yaitu[8];
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : الذَّكَاةُ فِى الْحَلْقِ
وَاللَّبَّةِ.
Dari sa’id bin jubair, dari Ibn Abbas r.a berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Ingat sesungguhnya penyembelihan itu pada tenggorokan dan leher”.
(HR. Bukhari).
Menyembelih binatang yang tidak
memungkinkan itu, dengan melukainya pada bagian tubuh mana saja yang sekiranya
dapat melenyapkan nyawanya.[9]
Dalilnya adalah hadits Nabi SAW;
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خدِيْجٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابَ نَهْبَ إِبِلٍ وَغَنَمٍ فَنَدَّ مِنْهُ
بَعِيْرٌ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ خَيْلٌ فَرَمَاهُ رَجُلٌ بِسَهْمٍ فَحَسَبَهُ- أَيْ
فَمَاتَ- فَقَالَ إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ
أَوَابِدَ كَأَوَابِدَ الْوَحْشَ فَمَا فَعَلَ مِنْهَا هَكَذَا فَافْعَلُوْا بِهِ مِثْلَ
ذَلِكَ
Dari Rafi’ bin Khudaij ra: “Sesungguhnya Nabi
SAW mendapat bagian dari ghanimah berupa unta dan kambing. Kemudian ada seekor
yang memberot (berontak dan lari), sedangkan orang-orang tidak ada yang membawa
kuda, lalu ada seorang laki-laki memanahnya hingga mati, Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya, binatang buas seperti binatang buruan. Barangsiapa
yang mengalami keadaan seperti ini, maka lakukanlah seperti itu (dipanah). (HR.
Bukhari dan Muslim).[10]
Didalam riwayat yang lain juga disebutkan;
.......فَمَا عَلَيْكُمْ مِنْهَا
فَاصْنَعُوْا بِهِ هَكَذَا
“…. Hewan yang merepotkan kamu, maka lakukanlah seperti itu
(Melukainya sedapat mungkin hingga mati).
Penyembelihan yang sempurna adalah penyembelihan empat
saluran pada leher, yaitu; saluran nafas, saluran makanan dan dua saluran darah
yang ada di kanan kiri leher. Sunnah hukumnya memotong empat saluran ini ruh
bias lebih mudah dan cepat keluar. Hal yang demikian, bagian dari perlakuan
baik terhadap binatang yang disembelih.[11]
Tersebut dalam hadits;
كُلُّ مَا أَفْرَى الْأَوْدَجَ
“Makanlah binatang yang disembelih dengan alat yang
dapat memutus audaj (urat saluran nafas, saluran makanan dan dua urat
saluran darah).
Dalil sahnya sembelihan hanya memutus tenggorokan dan
saluran makanan adalah hadits Nabi SAW;
عَنْ رَافِعِ بْنِ خُدِيجٍ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَا أَنْهَرَ الدَّمُ وَذُكِرَ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْهُ.
Dari Rafi’ bin Khudaij ra. Ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “ Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah (binatang
yang disembelih) dan dibacakan nama Allah, maka halal kamu makan. (HR. Bukhari
dan Muslim).[12]
3.
Alat Menyembelih
Boleh menyembelih binatang dengan semua benda yang dapat
melukai, kecuali dengan gigi dan kuku. Dalil alat menyembelih yang diterangkan
diatas adalah Hadits Rasulullah SAW;
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خدِيْجٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
..............: إنَّ نَرْجُوْ
أَوْ نَخَافُ الْعَدُوَّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى, أَفَنَذْبَحُ بِالْقَصَبِ
؟ قَالَ ( مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْهُ لَيْسَ
السِّنَّ والظُّفُرَ, وَسَأُحَدِّثكُمْ عَنْ ذَلِكَ : أَمَّا السِّنَّ فّعّظْمٌ وّأمَّا
الظُّفُرَ فَمُدَى الْحَبَشَةِ )
Dari Rafi’ bin hudaij r.a……..: “Sesungguhnya kami
berharap atau khawatir bertemu lawan esok hari, sedangkan kami tidak membawa
pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan bambu?. “Nabi SAW bersabda; “Sesuatu
yang dapat mengalirkan darah dan dibacakan Nama Allah, maka makanlah sembelihan
itu, kecuali dengan gigi dan kuku. Akan aku ceritakan kepadamu alasannya,
yaitu; gigi itu tulang dan kuku itu pisau orang-orang habsyi. (HR. Bukhari dan
Muslim).[13]
Tulang
itu tidak boleh digunakan menyembelih binatang dan orang-orang habasyah itu
menggunakan kuku untuk menyembelih binatang. Mereka itu adalah orang-orang
kafir, sebab itu kaum muslimin dilarang meniru mereka.[14]
4.
Bagian tubuh yang disembelih
Para
ulama fiqh sepakat bahwa tempat yang disembelih adalah tenggorokan atau labbah
(lubang leher), tidak cukup dengan menyembelih pada selain tempat ini.
Menyembelih dikhususkan pada tempat ini karena merupakan tempat berkumpulnya
urat-urat, sehingga mengakibatkan hewan itu cepat mati, menjadikan dagingnya
lebih baik, dan terasa lebih ringan bagi hewannya. Penyembelihan pada halq (tenggorokan),
yaitu bagian leher paling atas yang disebut dzabh, dan dilakukan pada
hewan selain unta. Penyembelihan pada labbah disebut nahr dan
dilakukan khusus untuk unta. Labbah ialah bagian dalam yang berada
antara pangkal leher dan dada, yakni lubang yang berada pada leher paling bawah
atau tempat meletakkan kalung yang berada dari arah dada.[15]
C.
Penyembelihan Secara Mekanik
Seiring
perkembangan jaman yang pesat, dari semua sektor tidak luput dari kemajuan
teknologi dan kemajuan bidang lainnya. Jaman dahulu kehidupan selalu berpijak
pada sumber daya manusia, namun pada era globalisasi ini, banyak tenaga manusia
yang diganti dengan mesin. Salah satu bentuk konkritnya yaitu Penyembelihan
dengan menggunakan mesin. Berikut paparan hukum mengenai menyembelih dengan
menggunakan mesin;
Hukum pemotongan hewan dengan mesin
adalah halal, kalau mesin dan cara pemotongannya memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Pemotongnya
seorang muslim.
2. Alat
mesin yang dipergunakan untuk penyembelihan tersebut memenuhi syarat-syarat
penyembelihan syar’i.
(وَشُرِطَ
فِى الدَّبْحِ قَصْدٌ) اَيْ قَصْدُ الْعَيْنِ اَوْ الْجِنْسِ بِالْفِعْلِ
(قَوْلُهُ قَصْدُ الْعَيْنِ) وَاِنْ اَخْطَاءَ
فِي ظَنِّهِ اَوْ الْجِنْسِ وَاِنْ اَخْطَاءَ فِي الأَصَابَةِ ح ل وَالْمُرَادُ
بِقَصْدِالْعَيْنِ اَوْ الْجِنْسِ بِالْفِعْلِ اَيْ قَصْدُ اِيْقَاعِ الْفِعْلِ
عَلَى الْعَيْنِ اَوْ عَلَى وَاحِدٍ مِنَ الْجِنْسِ وَاِنْ لَمْ يَقْصِدْ
الدَّبْحَ
Dan
dalam penyembelihan disyaratkan ada kesengajaan mengarahkan tindakannya pada
hewan tertentu atau jenisnya.
(Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “ Kesengajaan mengarahkan tindakannya pada
hewan tertentu.”) meskipun prasangkanya salah, atau jenisnya meskipun salah
sasaran. Begitu menurut al-Halabi. Dan maksud kesengajaan mengarahkan
tindakannya pada hewan tertentu atau jenisnya adalah sengaja mengarahkan
tindakannya pada hewan tertentu atau seekor hewan dari satu jenis, meskipun
tidak bermaksud menyembelih.
(وَ) شُرِطَ (فِى الْاَلَةِ كَوْنُهَا
مُحَدَّدَةً) بِفَتْحِ الدَّالِ الْمُشَدَّدَةِ اَيْ ذَاتَ حَدٍّ (تَجْرَحُ
كَحَدِيْدٍ) اَيْ كَمُحَدَّدِ حَدِيْدٍ (وَقَصَبٍ وَحَجَرٍ) وَرَصَاصٍ وَذَهَبٍ
وَفِضَّةٍ (اِلَّا عَظْمًا) كَسِنٍّ وَظُفُرٍ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ مَا
اَنْهَرَالدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْهُ لَيْسَ السِّنَّ
وَالظُّفُرَ وَاُلْحِقَ بِهِمَا بَاقِي الْعِظَامِ
(قَوْلُهُ اِلاَّ عَظْمًا اِلَخْ) اَفَادَ
اَنَّهُ يَكْتَفِي بِغَيْرِ مَا ذُكِرَ وَلَوْ شَعْرًا اِذَا كَانَ لَا عَلَى
وَجْهِ الْاَحْنَافِ[21]
... يَعْلَمُ مِنْ قَوْلِهِ الَاتِي اَوْ كَوْنِهَا جَارِحَةَ سِبَاعٍ اَوْ طَيْرٍ
اِلَخْ حَيْثُ اَطْلَقَ فِيْهِ وَلَمْ يَشْتَرِطْ اَنْ تَقْتُلَهُ بِوَجْهٍ
مَخْصُوْصٍ فَيُسْتَفَادُ مِنْ اْلِاطْلَاقِ اَنَّهُ يَحِلُّ مَقْتُوْلُهَا
بِسَائِرِ اَنْوَاعِ الْقَتْلِ
Disyaratkan
pada alat pemotongan harus dalam keadaan tajam sehingga dapat melukai, seperti
senjata tajam dari besi, bambu, batu, emas, dan perak, kecuali dari gigi dan
kuku, berdasarkan hadist Riwayat Muslim: “apapun yang bisa mengalirkan darah
(binatang sembelihan) yang bukan terbuat dari gigi dan kuku, serta disebutkan
(ketika disembelih) nama Allah Swt. Maka makanlah.” Dan hukumnya disamakan
dengan gigi dan kuku, semua jenis tulang.
(Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “Kecuali
tulang...”) memberi pengertian bahwa penyembelihan cukup pula dilakukan dengan
selain alat yang telah disebutkan, meskipun berupa rambut selama tidak dengan
cara mencekik... Dari pernyataan nati, yaitu: “Atau alat penyembelih berupa
binatang atau burung pemburu...” dimana Syaikh Zakaria memutlakkannya dan tidak
menyaratkan binatang atau burung pemburu itu membunuh buruannya dengan cara
tertentu. Maka dari kemutlakan tersebut bisa diketahui bahwa buruan yang
dibunuh binatang atau hewan pemburu itu halal, dengan berbagai cara pembunuhan.
c. I’anatut
Thalibin[22]
إِعْلَمْ أَنَّ ذَبْحَ الْحَيَوَانِ الْبَرِّيِّ
الْمَقْدُوْرِ عَلَيْهِ بِقَطْعِ كُلُّ حُلْقُوْمٍ وَهُوَ مَخْرَجُ النَّفَسِ
وَكُلُّ مَرِيْءٍ وَهُوَ مَجْرَى الطَّعَامِ تَحْتَ الْحُلْقُوْمِ بِكُلِّ
مُحَدَّدٍ يَجْرَحُ. (قوله بكل الخ) – إلى أن قال – كَحَدِيْدٍ وَرَصَاصٍ وَخَشَبٍ
وَقَصْبٍ وَحَجَرٍ وَزُجَاجٍ .......(إعانة الطالبين, 2 / 341-342).
Ketahuilah, sesungguhnya
menyembelih hewan yang bisa disembelih lehernya ialah dengan memutus hulqum (tenggorokan), itu adalah tempat keluarnya nafas. dan
mari’, itu adalah saluran makanan dan minuman dibawah tenggorokan dengan Alat
pemotong tajam yang dapat melukai seperti besi, timah, kayu, bambu, batu, kaca.
Jadi, dari beberapa
pendapat ulama’ diatas, dapat diketahui bahwa penyembelihan hewan dengan
menggunakan mesin itu diperbolehkan, dengan syarat; penyembelihnya seorang
muslim, dan alat (mesin) yang digunakan untuk menyembelih hewan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh syar’I dalam hal penyembelihan.
D.
Masalah-masalah dalam penyembelihan
1.
Menyembelih tanpa Basmalah
Contoh
kasus dalam kehidupan sehari-hari, ada seseorang yang menyembelih hewan tapi
dia lupa tidak membaca basmalah atau memang dia sengaja tidak membaca basmalah.
Dan dalam hal ini, ulama menyatakan bahwa (menyembelih) tanpa mengucapkan
basmalah itu sah tapi makruh.
وَيُسْتَحَبُّ عِنْدَ الذَّبْحِ خَمْسَةُ
أَشْيَاءَ التَّسْمِيَةُ – إِلَى أَنْ قَالَ – فَلَوْ لَمْ يُسَمَّ حَلَّتْ
لِأَنَّ اللهَ تَعَالًى أَبَاحَ ذَبَائِحَ أَهْلِ اْلكِتَابَ وَهُمْ لَا
يُسَمُّوْنَ غَالِبًا ............... (كفاية الأخيار, 2 / 240 )
Dan
disunnahkan ketika menyembelih lima perkara, diantaranya; membaca basmalah.
Maka jika tidak dibacakan basmalah itu tetap halal, karena sesungguhnya Allah
SWT Memperbolehkan penyembelihannya ahlul kitab. Dan mereka tidak menyebut
basmalah secara lazimnya (umum).[23]
وَ الْإِجْمَاعُ قَامَ عَلَى أَنَّ
مَنْ أَكَلَ ذَبِيْحَةً مُسْلِمٌ لَمْ يُسَمِّ اللهَ عَلَيْهَا لَيْسَ بِفِسْقٍ
......(بجيرمي على الخطيب, 2 / 237)
Kesepakatan
ulama’ sesungguhnya seseorang yang makan hewan yang sudah disembelih yang tidak
disebutkan nama Allah, bukan berarti dia (muslim) tidak keluar dari aturan
(jalan yang benar). [24]
(قَوْلُهُ فَلَوْ لَمْ يُسَمَّ
حَلَّ الْمَذْبُوْحُ) أَيْ مَعَ الْكَرَاهَةِ ........ (حاشية الباجوري, 2 / 300)
Maka jika tidak diucapkan nama Allah, maka tetap halal
sembelihannya, tapi itu makruh.[25]
2.
Menyembelih hewan hingga putus putus leher (kepala)
Penyembelihannya dianggap cukup dan sah, tetapi hukumnya
haram, karena dianggap menyakiti. Sedangkan menurut pendapat Ar-Ramli dan
Syibramullisi hukumnya makruh.
لَوْ قَطَعَ الرَّأْسُ كُلَّهُ كَفَى وَإِنْ حَرُمَ للتَّعْذِيْبِ,
وَالْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الرَّمْلِيِّ والشَّبْرَامَلِّسِيِّ الْكَرَاهَةُ
.......(حاشية البجوري, 2 / 295)
Jika memotong kepala hingga putus semuanya itu dianggap
cukup, dan sekalipun haram, itu karena sama halnya menyiksa. Dan menurut
pendapat yang dapat dibuat pegangan menurut imam Ramli dan Syibramullisi
itu hukumnya makruh.[26]
KESIMPULAN
Kata sembelihan berasal dari kata dzabaih yang merupakan bentuk
jamak dari kata dzabihah, artinya madzbuhah yang disembelih. Penyembelihan
hewan dilakukan pada dasarnya telah diperintahkan oleh Allah SWT, seperti yang
tersebut dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 3. Hewan sembelihan dapat dibagi
menjadi dua, yakni hewan yang bias disembelih lehernya (Maqdur ‘alaih),
dan hewan yang tidak bisa disembelih lehernya (ghairu maqdur).
Dalam melakukan Penyembelihan ada beberapa
syarat sah yang harus dipenuhi, diantaranya; orang yang menyembelih, alat
menyembelih, perbuatan orang yang menyembelih, dan bagian tubuh yang
disembelih. Keempat itu merupakan syarat dasar yang wajib dipenuhi dalam
melakukan penyembelihan. Namun demikian, jumhur ulama’ dari beberapa madzhab
menambahkan membaca tasmiyah sebagai syarat sah penyembelihan kecuali
kalangan syafi’iyyah yang berpendapat bahwa membaca tasmiyah merupakan
sunnah dalam penyembelihan.
Seiring berjalannya waktu, penyembelihan di
era modern ini sudah sangat berbeda dengan jaman dahulu. Pada saat ini, banyak
penyembelihan telah menggunakan mesin pemotong hewan sendiri untuk digunakan
dalam proses penyembelihan. Hukum islam memandang bahwa penyembelihan secara
mekanik (mesin) diperbolehkan bila memenuhi syarat, diantaranya; penyembelihnya
harus seorang muslim, dan Alat pemotong (mesin) yang digunakan memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh syar’i.
Syarat pertama itu dalam segi agama orang
yang menyembelih harus Islam dan orang yang menyembelih itu harus sengaja
mengarahkan tindakannya kepada hewan tertentu meskipun tidak berniat
menyembelih. Sedangkan syarat yang kedua itu adalah mengenai alat yang
digunakan itu harus sesuai dengan ketentuan syar’i. Intinya, alat (mesin) yang
digunakan dapat melukai hewan atau bisa mengalirkan darah dari hewan yang
disembelih serta harus dalam keadaan tajam baik terbuat dari apapun kecuali
gigi, kuku, dan tulang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Husain Al-Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairi an-Naisabury, Shahih
Muslim juz 6, Beirut: Darul Jayl, tt.
Abu Sari’
Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh al-Islamiy, Alih
bahasa; Sofyan Suparman, Bandung: Trigenda Karya: 1997.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Pustaka Amani, 2005.
Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz 2,
juz 5, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987. Diambil dari Software maktabah
Syamilah.
Musthafa Daib
Al-Bigha, Tadzhib, Alih Bahasa: Fadlil Sa’id An-Nadwi, Surabaya:
Al-Hidayah, 2008.
Sulaiman ibn Umar ibn Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah Bujairami juz IV, Turki:
Diyar Bakr, tt.
Tim Kajian
Fikih Pondok Pesantren Sidogiri, “Santri Salaf Menjawab”, Pasuruan:
Pustaka Sidogiri, 1432 H.
Zakaria
al-Anshari & Sulaiman bin Manshur al-Jamal, Futuhatu-l-Wahhab bi Taudhih
Fathul Wahhab Jilid VI, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345 H.
Zakaria al-Anshari dan Sulaiman al-Bujairami, Fathuk Wahhab & al-Tajrid
li Naf’’ al-‘Abid, Jilid VI, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345 H.
Zakaria Al-Anshari, Syarh Al-Manhaj juz V, Beirut: Dar
Al-Fikr, tt.
Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, juz
2, Surabaya: Alhidayah, tt
[1] Abu Sari’
Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh al-Islamiy, Alih
bahasa; Sofyan Suparman, (Bandung: Trigenda Karya: 1997), hal. 194.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005),
hal. 142.
[3] Abu Sari’
Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh al-Islamiy, Alih
bahasa; Sofyan Suparman, (Bandung: Trigenda Karya: 1997), hal. 197-199.
[4] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005),
hal. 143.
[5] Abu Sari’
Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh al-Islamiy, Alih
bahasa; Sofyan Suparman, (Bandung: Trigenda Karya: 1997), hal. 205
[6] Abu Sari’
Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh al-Islamiy, Alih
bahasa; Sofyan Suparman, (Bandung: Trigenda Karya: 1997), hal. 205.
[7] Musthafa Daib
Al-Bigha, Tadzhib, Alih Bahasa: Fadlil Sa’id An-Nadwi, (Surabaya:
Al-Hidayah, 2008), hal. 575.
[8] Muhammad Ibn
Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 5, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987), hal. 2095. Diambil dari Software maktabah Syamilah.
[9] Musthafa Daib
Al-Bigha, Tadzhib, Alih Bahasa: Fadlil Sa’id An-Nadwi, (Surabaya:
Al-Hidayah, 2008), hal. 576
[10] Muhammad Ibn
Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 2, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), hal. 881.
Diambil dari Software maktabah Syamilah.
[11] Musthafa Daib
Al-Bigha, Tadzhib, Alih Bahasa: Fadlil Sa’id An-Nadwi, (Surabaya: Al-Hidayah,
2008), hal. 577.
[12] Abu Husain Al-Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairi an-Naisabury, Shahih
Muslim juz 6 (Beirut: Darul Jayl, tt), hal. 78. Diambil dari software
Maktabah Syamilah.
[13] Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 2, (Beirut:
Dar Ibnu Katsir, 1987), hal. 881. Diambil dari Software maktabah Syamilah.
[14] Musthafa
Daib Al-Bigha, Tadzhib, Alih Bahasa: Fadlil Sa’id An-Nadwi, (Surabaya:
Al-Hidayah, 2008), hal. 580-581.
[15] Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Al-Ath’imah fi ad-dzabaih fi al-fiqh
al-Islamiy, Alih bahasa; Sofyan Suparman, (Bandung: Trigenda Karya: 1997),
hal. 209.
[16] Zakaria al-Anshari dan Sulaiman al-Bujairami, Fathuk Wahhab &
al-Tajrid li Naf’’ al-‘Abid (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345 H), Jilid VI, h,
286
[17] Zakaria
Al-Anshari, Syarh Al-Manhaj juz V, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), hal. 234.
Lihat juga dalam software Maktabah syamilah.
[18] Sulaiman ibn
Umar ibn Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah Bujairami juz IV, (Turki: Diyar
Bakr, tt), hal. 286. . Lihat juga dalam software Maktabah syamilah.
[19] Zakaria
al-Anshari & Sulaiman bin Manshur al-Jamal, Futuhatu-l-Wahhab bi Taudhih
Fathul Wahhab (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345 H), Jilid VI, h, 286
[20] Zakaria
Al-Anshari, Syarh Al-Manhaj juz V, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), hal. 241.
Lihat juga dalam software Maktabah syamilah.
[21] Mungkin yang
dimaksud adalah kata اَلْخَنَاقِ (pencekikan). Pen
[22] I’anatut
Thalibin Juz 2 hal. 341-342. Lihat juga dalam Tim Kajian Fikih Pondok Pesantren
Sidogiri, “Santri Salaf Menjawab”, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1432 H), hal.
876.
[23] Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, juz
2 (Surabaya: Alhidayah, tt), hal. 240.
[24] Tim Kajian
Fikih Pondok Pesantren Sidogiri, “Santri Salaf Menjawab”, (Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 1432 H), hal. 874.
[25] Tim Kajian
Fikih Pondok Pesantren Sidogiri, “Santri Salaf Menjawab”, (Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 1432 H), hal. 874.
[26] Tim Kajian
Fikih Pondok Pesantren Sidogiri, “Santri Salaf Menjawab”, (Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 1432 H), hal.874-875.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar